Puing-Puing Pabrik

"rek ayo rek dulinan" ajak Leni bermain pada teman-temannya
temannya menanggapi dengan berkerubung tak rapi.

malam itu kami bermain gentong-gentongan. permainan klasik yang tak menghabiskan tenaga.
tiba-tiba ditengah permainan terhenti oleh sebuah bau yang menyengat.

"ehh.. sopo iki sing ngentut!?" tanya Ari perihal bau kentut.

tanpa ada yang menyuruh Yeni langsung bernyanyi sambil menunjuk temannya satu-satu

"Bang-bang tut jendela-lawang
sopo mari ngentut ditembak raja tua
tua-tua kaji, rambut'e karek siji
mbukak lemari, isine roti.
roti-roti atos, selet'e mbeldos!"

nyanyian berhenti dan telunjuknya menunjuk Mujib. semua menuduhnya sebagai pembuang bom bisu sembarangan.
"duduk aku!" Mujib membela diri.
"kalau tidak percaya, cium saja pantatku!"


***


pukul tiga sore hari. belasan anak berkumpul di sebuah pabrik. pabrik yang terbakar dan kini tinggal puing-puing, lebih akurat jika melihat temboknya yang miring hampir rubuh.
ujung dinding dijebol membentuk lingkaran tak sempurna berukuran setengah meter.
tinggi, rendah, gemuk, kurus jika ingin memasukinya harus patuh merunduk. hal kecil ini mengajarkan pada kita untuk berendah diri saat dijinkan menjadi tinggi nanti.

anak kota suka main bola, anak kota antusias berlari, mengejar, menggiring, menendang dan menangkap bola.
anak kota bermain diteduhi ironi besar.
anak kota tak punya lapangan bola.

jika tak salah hitung, waktu itu saya masih SD. gemar-gemarnya bermain bola.
sepak bola saya lampiaskan di pabrik tersebut. pabrik yang tak beratap lagi, pabrik yang dindingnya hampir rubuh, pabrik yang ditumbuhi semak belukar dan tumbuhan liar.

saya bercerita tentang sepak bola masa lalu saya bersama teman-teman. dengan bola plastik berharga ribuan. digiring oleh Supri diumpan pada Afu. anak keturunan Cina ini menyusup sampai depan gawang lawan, oh Andi sigap didepannya, sedikit terjatuh menangkap bola. aman "gawang kita aman!"

gawang dibuat dari batu puing-puing bangunan, ditumpuk pada kedua ujung. sederhana. lalu Andi dan Johan membentengi kedua gawang, berhadapan dengan status persaingan.

bola diterima Mathius, goyang samba sodorkan bola pada Candra.
Candra cerdik lambungkan bola, disundul Agus kepojok gawang, tangan Johan berkilah tak sampai. "kita kalah satu angka" sesalnya.

"jangan menyerah! ini bukan persaingan yang memperebutkan lahan!. ini persaingan yang dibalut kebahagiaan. kau harus tahu itu! aku disini bukan lawanmu, aku temanmu yang siap membagi keceriaan."

kami pernah bermain bola di lapangan Volly milik RW. tapi atas dasar kekuasaan absolut orang-orang dewasa, kami dilarang bermain bola di lapangan Volly dengan alasan merusak pasir lapangan. dan yang paling saya sesalkan mereka mencekoki kami dengan permainan Volly. "ah! olahraga apa ini!? bukan sehat malah tangan memerah didapat. merusak tangan saja!" umpat saya waktu itu.
hati kecil saya berontak, tak tahan melihat orang-orang dewasa yang menurut saya tak mampu menerapkan keadilan!
saya ingin melawan! tapi apa daya saya? waktu itu saya masih menjadi pelanduk. yang tak bertanduk, yang tak bertaring.

sampai akhirnya, dipabrik ini saya melampiaskan perasaan.
tersudut oleh bangunan-bangunan kota dan terpojok oleh kewenanngan orang dewasa.

jangan memarahi kami yang tak punya lahan, jangan memaki kami yang mencari keceriaan, jangan bebani kami dengan masalah-masalah, jangan turunkan ilmu mencuri, jangan ajari cara mengumpat.

ajari kami tentang kebahagiaan agar tak manja saat dewasa,
curahi kami persatuan agar kami paham pentingnya kebersamaan,
kenalkan kami pada tuhan agar kami tak mencuri lahan.

langit menggelap diringi suara qiraah di masjid. "ayo moleh rek!, wis maghrib!"
dirumah, saya selalu dimarahi Budhe saya karena badan kotor, keringat ambrol disana-sini, kaos kotor basah keringat dan celana yang bagian belakangnya berwarna cokelat kehitam-hitaman khas debu jalanan.



* ditulis pada suatu malam, saat pikiran saya terbang kemasa lalu.

Komentar