Cerita Dari Ibu Pertiwi

karena sudah malas mempelajari buku, puluhan pelajar turun kejalan saling lempar-melempar batu. dengan gesper besar melilit ditubuhnya padahal nyali tak sebesar gespernya, bicaranya sok jagoan padahal beraninya kalau ada banyak teman.

tawuran itu pengecut!. dan senjata paling pengecut adalah batu! beraninya melempar dari jauh!.
apa yang membuat pelajar saling bertengkar?
apa mereka ingin mempraktekkan nilai-nilai pejuang kemerdekaan?

membawa spanduk besar bertuliskan "turunkan..!" sambil meneriakkan nama presiden. ratusan mahasiswa berdemo besar-besaran berdampak keacetan dan rasa pilu yang takkalah besar. sebagian dari mereka berkoar dengan microphone ditangannya "kinerja presiden buruk! turunkan..!" sebagian lagi hanya ikut-ikutan.

diujungnya, polisi sibuk menyemprotkan water canon pada buruh yang menuntut kesejahteraan. pagar gedung MPR/DPR dirobohkan sebagai pelampiasan.
pagar gedung jadi sasaran menunjukkan bahwa manusia memiliki tingkat kewarasan yang kurang.

sepak bola bukan hiburan melainkan menonton hewan. ribut-ribut ditengah lapangan, bukan bola tapi wasit yang ditendang. sementara induk organisasi sibuk bertaruh tempat penyelenggaraan piala dunia yang masih beberapa belas tahun kedepan.

tribun penonton tak mau kalah. botol-botol air mineral dilemparakan, memaki wasit dengan dua kata "wasit goblog!"
apa perlu diadakan sepak bola di taman satwa liar?
toh, pemain dan induk organisasinya sama-sama bernaluri hewan.

nama tuhan di sebut-sebut dengan keras. berpakaian ala agamawan tapi tangan memegang kayu balok siap dipukulkan kemuka lawan.
coba terka, ada apa disana?
ormas-ormas berebut lahan sengketa atas nama agama yang katanya membawa kedamaian.

"aduhh.." rintih personil Satpol PP yang kepalanya bocor akibat dikeroyok orang-orang beragama. dapat pula ditarik kesimpulan bahwa agama bukan saja membawa kedamaian tapi juga mampu merubah pengikutnya menjadi setan.
karena merasa disudutkan warga, Satpol PP berdalih ini bukan karena mereka. tuduh menuduh terjadi disana. sulit berhenti.

aparat merobohkan gerobak bakso sambil berteriak dalam hati "tugas negara ada dipundak kita" kuah bakso meluber dijalanan dan warnanya berubah menjadi merah karena darah anak-anak kecil yang dibesarkan dilingkungan beringas.
"dunia ini keras, nak" nasehat ibu "untuk dapat bertahan kau harus menjadi keras pula, nak"

hari berikutnya tukang bakso ditemukan mati disebuah pasar swalayan, setelah diselidik dia mati karena takut diterkam algojo-algojo rentenir.

para "tetua" masih tak mau meluangkan waktu untuk mencarikan solusi semua itu. karena disibukkan dana pajak yang keliru ditransfer kepada seorang Pegawai Negeri Sipil. yang lebih tua malah latihan teater tetang dana bank yang hilang misterius.

jelas misterius! bukankah mereka yang "calon-calon magician" yang sempat meminta-minta agar wajahnya di contreng dulu?

tak berhenti disini, satu-satu menyatakan argumentasi guna menyudutkan suatu kubu. dikubu yang lain ikut menuduh. semuanya saling menuduh, membuat negeri ini semakin gaduh...

betapa negeri ini penuh dengan kekerasan
setiap individu mencari dan memburu kemengangan, setelah kemengangan itu tercapai baruah tersadar bahwa kemengangannya menimbulkan konflik-konflik disetiap daerah. lalu konflik menelurkan banyak korban.
semakin banyak korban semakin kita butuh sosok "Semar" yang menuturi bahwa kemengangan itu selalu berdiri acuh tak acuh diatas korban.

kemenangan atau kemerdekaan yang berhasil diraih secara perlahan-lahan mendorong kita untuk melupakan tiga wawasan, yaitu:

wawasan kebangsaan:
berupa rasa persatuan yang mampu meminimalisir terjadinya konflik, berhenti memukul karena adanya rasa saling memiliki perasaan.

wawasan kebijaksanaan:
ada banyak orang beragama, namun tak banyak orang yang "bijak dalam beragama" orang beragama cenderung memeluk dan merasa agamanya yang terbaik, jalannya yang paling benar. dan merasa paling baik dan benar adalah bagian dari ego sentris. apakah bermacam agama diciptakan untuk mencetak manusia yang menumbuhkan ego?
bukankah dunia terasa lebih damai dengan rasa saling menghargai tanpa memandang agama dan aliran, apalagi menuduh kesesatan suatu sekte.

wawasan kemanusiaan:
tidak akan ada orang yang merasa miskin, tersudut, terpinggirkan lalu bunuh diri jika kita mengembangkan rasa kemanusiaan. adanya kasta-kasta dalam hidup berguna untuk menggerakkan hati-pikiran manusia agar saling membantu atas dasar jiwa kemanusiaan.

begitulah cerita dari ibu pertiwi.
lalu, muncul pertanyaan, siapakah ibu pertiwi itu?

Ibu Pertiwi adalah aku
Ibu Pertiwi adalah kamu
cerita Ibu Petiwi adalah cerita kita.

Komentar

Posting Komentar

PINERANG BLOG
TERBIT SEMAMPUNYA SEJAK 2008