Agama Fisik Dan Agama Elektrik

minggu kemarin, bukan sebuah kunjungan yang terencana saya mendatangi sebuah masjid kebanggaan orang Semarang. Masjid Agung Jawa Tengah.

Masjid yang dibangun mulai tahun 2001 sampai 2006 ini memiliki bangunan yang cukup unik dengan campuran arsitektur campuran antara jawa, arab dan yunani dilengkapi dengan fasilitas lengkap seperti perpustakaan, musium bahkan convention hall dan penginapan. karena selain di proyeksikan sebagai tempat ibadah, masjid ini juga ditujukan sebagai wisata reilijius dan pengunjung yang datang dari jauh bisa menginap di areal masjid (bukan tidur di pelataran lo ya!!)

Masjid yang terletak di Semarang Timur ini juga cukup nyaman untuk ukuran tempat ibadah, dilanjut lagi dapat pemandangan unik enam payung yang dapat terbuka dan tertutup secara otomatis di halaman masjid.

pula, yang paling mencorong dari masjid ini adalah menara Al Husna setinggi 99 meter.
dilantai dasarnya terdapat studio radio dakwah dan dipuncaknya terdapat 5 teropong yang dapat melihat ke segala arah semarang.
ada juga musium tentang sejarah Masjid Demak dan benda-benda bersejarah termasuk pedang yang diyakini pernah digunakan pasukan Pangeran Diponegoro.
musium ini terletak di lantai 2 dan 3.

masuk ke bangunan utama masjid juga cukup luas, dengan dua tingkat yang cukup untuk menampung 6000an jamaah yang akan beribadah. di pojok bangunan utama ada sebuah bedug bernama "bedug ijo mangunsari". saya mendatanginya dengan perasaan meletup-letup.
bedug ini memiliki panjang 310cm dan garis tengah 220cm.
ketika sibuk membuat catatan saya dihampiri oleh seseorang penjaga masjid, "kebetulan" batin saya waktu itu.
orang bertubuh subur berkulit gelap ini saya cerca dengan pertanyaan mengenai bedug dan masjid ini.
bedug ini dibuat pada 20 syaban 1424 H dengan jumlah paku 156 buah dan masjid ini berdiri diatas areal tanah seluas 10 hektar dan menghabiskan biaya kurang lebih 180 M (bukan masehi)

saya cecar lagi dengan pertanyaan tentang arsitektur masjid, si bapak ini menjelaskan bahwa yang tertulis melingkar di pelataran masjid itu Asmaul Husna yang dijunjung 25 tiang, beberapa detik sebelum saya menanyakan maksud 25 tiang bapak ini menawarkan buku foto-kopian tentang masjid ini, tapi saya memilih untuk menolaknya saja. masjid kok jadi komoditas?

***

sore itu dibuka dengan adzan dari masjid agung ini, saya datang menghampiri kedepan.
jauh dari pikiran saya ketika ada kegiatan ibadah masjid sebesar ini tak seramai yang saya bayangkan. apakah kita masih cinta pada kelebihan-kelebihan simbol suatu daerah dengan wujud agamis daripada ibadah itu sendiri?

ashar itu di imami oleh sosok bertubuh tinggi besar berbaju terusan putih dengan surban yang digunakan seperti mukena wanita.
entahlah, kepahaman saya mengenai agama memang tak terlalu tinggi karena saya tak berminat dengan agama atau imbalan masuk surga. tapi saya selalu merasa janggal dengan sesuatu yang bertolak belakang dengan indera saya.

apakah saya bodoh atau memang secara umum orang Indonesia cenderung "fisik dalam beragama" menunjuk-nunjukkan bahwa diri sendiri lebih berkemampuan dalam agama dengan pakaian yang mecolok. jubah panjang maroko atau surban yang memanjang.
atau menunjukkan diri sendiri islam sejati dengan berteriak-teriak dijalan "allahu akbar .. allahu akbar..." yang berimbas kemacetan yang memantik amarah orang lain mengumpat "jancok.. jancokk..." dan menjadi polemik, saling menuduh, menghakimi dan saling mengklaim kebenaran.

aneh saja, kita yang orang indonesia mengenakan surban untuk kewibawaan padahal menurut sejarah di jawa, "kopiah" atau penutup kepala digunakan karena orang jawa merasa malu ketika beribadah menghadap tuhan dengan kepala yang terbuka.
bisa saja kita berkilah ini sunnah, tapi apakah kata sunnah mempunyai hak otoritas untuk membunuh budaya?
termasuk budaya berkopiah dan kemeja batik.

seusai keluar dari masjid ini, saya merasa kita, orang indonesia lemah dalam mempertahankan identitas.
karena menurut saya, status agama seseorang bukan untuk dipertunjukkan untuk mencari kewibawaan apalagi sebagai alat penjajahan budaya secara halus.

"saya islam! saya sudah sholat!"
kalimat yang saya pikir juga tak perlu untuk diungkapkan, biar saja tuhan yang mengkalkulasi ibadah manusia.
tapi negaraku yang dengan sedih aku cinta ini, berisi dengan manusia yang rata-rata bercita-cita menjadi nabi semua, menyudutkan minoritas, menilai kafir dari sudut pandang yang sempit.
adakah orang yang benar-benar "bergama elektrik"?
agama yang tidak menyudutkan orang lain, tidak menghakimi, tidak menilai dari pakaian agamis dan tidak menunjukkan kelebihan tapi banyak bermanfaat?
bukankah manusia akan lebih baik jika saling bermanfaat daripada sekedar terlihat agamis?

Komentar