Sudah sejak sore tadi, segerombol awan mendung menyulam langit agar nampak lebih gelap. Gumpalannya yang hitam menyiratkan dendam yang dalam, entah berapa kilometer sudah mereka lewati demi mencari zona pelampiasan dendam.
Angin juga sedang tak berkabar baik, suaranya mendesau tak ramah, setidaknya selama diluar rumah ada angin yang ingin merobohkan tubuh.
Dunia sedang tak baik saya pikir.
20:40
Enam buah buku diatas meja kamar saya ditambah jam tangan memandangi saya halus. Mungkin, Si Buku marah, sudah seminggu ini tak sekalipun terjamah. Oleh karena lebih seperti yang lalu-lalu. Saya lebih sering menuliskan yang mengganjal di diri daripada menyapa buku-buku itu.
"kupikir kau sedang lelah, nak"
Suara seperti pintu berderit, tapi anehnya deritnya menyerupai bahasa manusia, lebih-lebih suara itu menyapaku.
Saya menoleh 180 derajat kearah kanan dan kiri, saya pastikan tak ada yang berbicara.
Ah.. Fantasi saya sudah kelewatan.
"Tak ada yang menjamin dirimu untuk menjadi 2 yang tak adil atau menjadi 1 yang menggenapi. Semua tergantung langkahmu, melangkahlah perlahan dan berpikir pelan-pelan"
"kau ini siapa?! tidak usah sok bijak memberiku 'wejangan'!" tanyaku yang mulai sadar ada seseorang yang lain.
"kau akan menganggapku ramah di awal perkenalan, sampai tiba waktunya kau spontan membakarku"
Dari arah meja baca, leher saya putar 90 derajat ke arah kiri. Pintu kamar saya menyeruapkan nafas yang saya temu disetiap malam.
"Dihamparan salju yang dindin, jangan lagi berharap menjadi kaktus yang menebar panas sendiri. Sekalipun nyaman kau karena beda, tak akan ada yang simpati ketika kau dehidrasi"
"Kalau kau manusia, keinginanku adalah menyumpal mulutmu!" serapah saya.
"Aku yang mengawasimu saat kau sibuk disitu, aku yang mengatur temperatur kamarmu agar hangat senantiasa, mimpimupun kujaga agar tak lekang semusim"
Perlahan saya menarik nafas, menutup mata dan saya reka keadaan, saya ulang dalam pikiran.
Pintu ini tak pernah mencelakai saya, malah dia yang menjadi tabir utama dari suara orang-orang penyayang sinetron di ruang Teve.
"Mulai sekarang kau kuanggap manusia"
ucapku lamban untuk lebih memuliakan.
"Sampai kapan kau menjadi kaktus? saat lelah kau mudah terperangah. Padahal setiap inchi gurun salju bisa menganggapmu warga kehormatan bilamana kau pasrah membiarkan durimu beku"
"Aku hanya ingin menjadi diriku, kupikir tak ada orang yang berhak mengintervensi keinginanku. Apalagi kau, kayu!" balasku kesal.
Saya jadi mendelik kehadapannya, Pintu tersenyum kecil lalu meniup ubun-ubunku.
"Tak seorangpun memasang pelana dipunggungmu untuk ditunggangi, kau yang memaksa dirimu ke gunung, hingga semua merasa bingung. Larilah ke arah gletser-gletser gurun salju, biarkan tubuhmu terbenam didalamnya. jangan memaksa menjadi kaktus, karena tak akan ada yang menagis sembilu ketika kau mati layu"
Saya tercenung lama dan dalam.
Hujan, segeralah turun sebagai penawar, agar sesegera kuserap airmu melalui akar-akar.
Angin juga sedang tak berkabar baik, suaranya mendesau tak ramah, setidaknya selama diluar rumah ada angin yang ingin merobohkan tubuh.
Dunia sedang tak baik saya pikir.
20:40
Enam buah buku diatas meja kamar saya ditambah jam tangan memandangi saya halus. Mungkin, Si Buku marah, sudah seminggu ini tak sekalipun terjamah. Oleh karena lebih seperti yang lalu-lalu. Saya lebih sering menuliskan yang mengganjal di diri daripada menyapa buku-buku itu.
"kupikir kau sedang lelah, nak"
Suara seperti pintu berderit, tapi anehnya deritnya menyerupai bahasa manusia, lebih-lebih suara itu menyapaku.
Saya menoleh 180 derajat kearah kanan dan kiri, saya pastikan tak ada yang berbicara.
Ah.. Fantasi saya sudah kelewatan.
"Tak ada yang menjamin dirimu untuk menjadi 2 yang tak adil atau menjadi 1 yang menggenapi. Semua tergantung langkahmu, melangkahlah perlahan dan berpikir pelan-pelan"
"kau ini siapa?! tidak usah sok bijak memberiku 'wejangan'!" tanyaku yang mulai sadar ada seseorang yang lain.
"kau akan menganggapku ramah di awal perkenalan, sampai tiba waktunya kau spontan membakarku"
Dari arah meja baca, leher saya putar 90 derajat ke arah kiri. Pintu kamar saya menyeruapkan nafas yang saya temu disetiap malam.
"Dihamparan salju yang dindin, jangan lagi berharap menjadi kaktus yang menebar panas sendiri. Sekalipun nyaman kau karena beda, tak akan ada yang simpati ketika kau dehidrasi"
"Kalau kau manusia, keinginanku adalah menyumpal mulutmu!" serapah saya.
"Aku yang mengawasimu saat kau sibuk disitu, aku yang mengatur temperatur kamarmu agar hangat senantiasa, mimpimupun kujaga agar tak lekang semusim"
Perlahan saya menarik nafas, menutup mata dan saya reka keadaan, saya ulang dalam pikiran.
Pintu ini tak pernah mencelakai saya, malah dia yang menjadi tabir utama dari suara orang-orang penyayang sinetron di ruang Teve.
"Mulai sekarang kau kuanggap manusia"
ucapku lamban untuk lebih memuliakan.
"Sampai kapan kau menjadi kaktus? saat lelah kau mudah terperangah. Padahal setiap inchi gurun salju bisa menganggapmu warga kehormatan bilamana kau pasrah membiarkan durimu beku"
"Aku hanya ingin menjadi diriku, kupikir tak ada orang yang berhak mengintervensi keinginanku. Apalagi kau, kayu!" balasku kesal.
Saya jadi mendelik kehadapannya, Pintu tersenyum kecil lalu meniup ubun-ubunku.
"Tak seorangpun memasang pelana dipunggungmu untuk ditunggangi, kau yang memaksa dirimu ke gunung, hingga semua merasa bingung. Larilah ke arah gletser-gletser gurun salju, biarkan tubuhmu terbenam didalamnya. jangan memaksa menjadi kaktus, karena tak akan ada yang menagis sembilu ketika kau mati layu"
Saya tercenung lama dan dalam.
Hujan, segeralah turun sebagai penawar, agar sesegera kuserap airmu melalui akar-akar.
cerita yang menarik
BalasHapuskunjungan perdana
salam kenal