Bukan perkara setan atau dukun yang secara iseng membunuh langit, tapi ini sebuah utusan abstrak pada sebuah bumi, langit dan matahari. Bertahun-tahun jutaan bahkan milyaran bumi berputar pada poros yang sama. langit juga begitu tak ada yang aneh jika suatu saat berubah wajahnnya menjadi sangat sendu.
Pun, matahari. Bentukanya simpel, bundar dan berpendar cahaya sengit. Namun jangan kau tanyakan kenapa dia pergi dari langit beberapa hari ini. Akupun tak berani katakan dia sedang memberontak Tuhan untuk mogok bersinar.
***
GEGER PANEN.
Bulan ini, tepatnya akhir februari. Beberapa petani padi seperti mendapat petuah padi yang melimpah, tak ada hama tikus yang mengganggu ketentraman sawahnya seperti penanaman jagung musim kemarin.
Sejurus kemudian muncul kesibukan selain mempersiapkan tanah -digemburkan kembali untuk ditanami- yakni “mepe gabah” atau mengeringkan gabah, dan yang menjadi masalah bukanlah metode tradisional dalam “mepe gabah” ini, tak ada yang ngedumel kecapekan atau sesenggukan sakit akibat dehidrasi kelelahan. Bukan, bukan itu.
Mereka sudah terbiasa dengan rasa lelah, dehidrasi sudah menjadi soulmate setiap hari. Melainkan, ke-absen-an matahari beberapa hari ini yang mempersulit keadaan. Sudah berbulan-bulan menunggu panen raya, berdoa setiap saat agar terhindar dari hama, diwaktu panen matahari malah absen.
Itulah kenapa tulisan ini berjudul “geger panen” bukan “gagal panen”. Kegegeran lahir dari banyaknya padi yang hampir busuk karena basah, ditimpali dengan “gabah” yang terlanjur dihidangkan dihalaman rumah sering kerembesan air hujan. Geger!.
“yo ngene iki, le dadi wong tani urip’e rekoso”
Kata seorang wanita –yang bisa dikata sudah tua- memberitahu pada saya bahwa begitulah kehidupan menjadi petani, “rekoso” atau susah.
Sambil terus menarik “bagor” (bagor adalah bahasa semarang yang berarti terpal) untuk menjemur gabah tersebut:
“gusti, mbok njenengan paringi panas ingkang banter damel mepeni gabah niki, lho”
Kata wanita itu. Bisa saya jelaskan bahwa yang wanita katakan itu bukanlah sebuah keluhan karena keputusan langit, melainkan keinginan yang terhalangi dan Mimpi mereka yang lama tersembunyi.
Saya tak mampu berbuat apa-apa, apa saya harus terbang kelangit, membawa spanduk bertuliskan: “BERI KAMI PANAS!”, atau membagikan selebaran berikut uang suap untuk malaikat mengatur “panas banter” di desa kami. Tidak.
Mereka, orang-orang yang bagi saya istimewa. Saya tak bergerak, mata saya kaku menatap mereka, kaki saya seperti terikat kuat, tubuh saya layaknya “digubet” Naga BaruKlinting yang menyeruap dari Rawapening.
Subuh tadi sewaktu saya menjalani ritual jalan-jalan, bulan masih muncul separuh diatas pohon mangga. Beberapa jam kemudian, pukul 05:30 leher saya enggokan kearah timur dan nampaklah matahari lahir berumur satu ruas jari.
“nuwun gusti”.
Pun, matahari. Bentukanya simpel, bundar dan berpendar cahaya sengit. Namun jangan kau tanyakan kenapa dia pergi dari langit beberapa hari ini. Akupun tak berani katakan dia sedang memberontak Tuhan untuk mogok bersinar.
***
GEGER PANEN.
Bulan ini, tepatnya akhir februari. Beberapa petani padi seperti mendapat petuah padi yang melimpah, tak ada hama tikus yang mengganggu ketentraman sawahnya seperti penanaman jagung musim kemarin.
Sejurus kemudian muncul kesibukan selain mempersiapkan tanah -digemburkan kembali untuk ditanami- yakni “mepe gabah” atau mengeringkan gabah, dan yang menjadi masalah bukanlah metode tradisional dalam “mepe gabah” ini, tak ada yang ngedumel kecapekan atau sesenggukan sakit akibat dehidrasi kelelahan. Bukan, bukan itu.
Mereka sudah terbiasa dengan rasa lelah, dehidrasi sudah menjadi soulmate setiap hari. Melainkan, ke-absen-an matahari beberapa hari ini yang mempersulit keadaan. Sudah berbulan-bulan menunggu panen raya, berdoa setiap saat agar terhindar dari hama, diwaktu panen matahari malah absen.
Itulah kenapa tulisan ini berjudul “geger panen” bukan “gagal panen”. Kegegeran lahir dari banyaknya padi yang hampir busuk karena basah, ditimpali dengan “gabah” yang terlanjur dihidangkan dihalaman rumah sering kerembesan air hujan. Geger!.
“yo ngene iki, le dadi wong tani urip’e rekoso”
Kata seorang wanita –yang bisa dikata sudah tua- memberitahu pada saya bahwa begitulah kehidupan menjadi petani, “rekoso” atau susah.
Sambil terus menarik “bagor” (bagor adalah bahasa semarang yang berarti terpal) untuk menjemur gabah tersebut:
“gusti, mbok njenengan paringi panas ingkang banter damel mepeni gabah niki, lho”
Kata wanita itu. Bisa saya jelaskan bahwa yang wanita katakan itu bukanlah sebuah keluhan karena keputusan langit, melainkan keinginan yang terhalangi dan Mimpi mereka yang lama tersembunyi.
Saya tak mampu berbuat apa-apa, apa saya harus terbang kelangit, membawa spanduk bertuliskan: “BERI KAMI PANAS!”, atau membagikan selebaran berikut uang suap untuk malaikat mengatur “panas banter” di desa kami. Tidak.
Mereka, orang-orang yang bagi saya istimewa. Saya tak bergerak, mata saya kaku menatap mereka, kaki saya seperti terikat kuat, tubuh saya layaknya “digubet” Naga BaruKlinting yang menyeruap dari Rawapening.
Subuh tadi sewaktu saya menjalani ritual jalan-jalan, bulan masih muncul separuh diatas pohon mangga. Beberapa jam kemudian, pukul 05:30 leher saya enggokan kearah timur dan nampaklah matahari lahir berumur satu ruas jari.
“nuwun gusti”.

salam knal sblum nya,,,
BalasHapussipp nih blog nya,,,
artikel yang cukup menarik....
BalasHapus