Nggrundel Pemerintah

Semalam ini,Di kota-kota pasti masih ada keriuhan di sebuah warung kopi. Entah sekedar menghindari istri, merundingkan judi bola atau diskusi politik. emm.. mingkin lebih tepat jika disebut "nggrundel pemerintah". mengeluh dan menjelek-jelekkan pemerintah.

"yo'opo iki? hidup bertahun-tahun kok masih saja begini!, jalanan masih berlubang, kerjo pabrik gak sugih-sugih, dipaksa bayar pajak dengan kalimat nonsens; 'orang bijak taat bayar pajak!'. tapi sampek sekarang uang pajak tak jelas jluntrungannya"

mungkin semacam itu.
Sampai pada tenggak kopi terakhir dan dalam perjalanan pulangpun, orang-orang kota berkebiasaan "nggrundel pemerintah"
Kebiasaan yang orang surabaya sebut; "wis kadung ngetel" atau sudah mendarah daging ini memang sulit ditinggalkan.

Ya, bisa dibilang "grundelan-grundelan" warga warung kopi itu sejenis petasan bisu dihalaman kantor walikota. Betul-betul bisu, walau sekencang apapun "nggrundel" di tengah malam tetap saja mewujud bisu.

Jadi untuk apa "nggrundel" pada pemerintah?

Di desa, atau saya bisa dijadikan saksi dari tempat tinggal saya sekarang di desa Candirejo - Kabupaten Semarang.
Warga sini sudah mematikan lampu kamar dan berangkat "ngimpi" pada pukul antara 20:00-21:00. Lantas bangun mendahului adzan subuh untuk kembali bekerja keras.

Tak ada keriuhan disini, jangan tanya soal warung kopi!.
Taka ada "grundelan-grundelan" tengah malam disini, yang ada hanya suara jangkrik.

Dua hari yang lalu tepatnya, sawah milik budhe saya siap panen, budhe saya bingung mencari pekerja tukang panen atau kalau disini biasa disebut "derep".
"derep" adalah semacam bekerja tanpa digajki uang.

Sebagai contoh, seseorang memiliki sawah seluas lima petak yang siap panen, namun pemilik sawah itu pastilah "ora sanggup" jika memanennya sendiri. maka pemilik sawah itu mencari pekerja "derep"



Pekerja "derep" itu berusaha -dan berlomba- mengumpulkan butir-butir gabah untuk disetorkan pada pemilik sawah. Umumnya mereka mampu mengumpulkan 4-5 karung mulai pagi-sore hari, dengan punggung yang hampir patah tentunya.

Uniknya, waktu menyetor dirumah pemilik sawah, mereka tidak seta-merta menerima lembaran uang tapi masih ada pekerjaan.
Gabah yang mereka panen harus dibagi dengan pemilik sawah dengan nilai perbandingan 1:5. satu piring untuk pekerja, lima piring untuk pemilik.

Betul!, cara pembagian cukup menggunakan piring!.
satu piring dituang didepan pekerja, lima piring dituang didepan pemilik.
betapa mahal derajat sepiring gabah disaat menghitung seperti ini.

Jelas karena saya besar dikota yang dididik dengan kepraktisan, saya melontarkan pertanyaan pada mereka:

"kenapa nggak langsung ditimbang saja? agar lebih cepat."

mereka menjawab:
"penak ngene, kok" lebih enak begini kok.

Apakah ini yang dinamakan mosi tidak percaya pada timbangan? bisa jadi!.
Mungkin mereka takut dicurangi dengan timbangan yang berat sebelah.
Maka dari itu mereka lebih memilih menggunakan cara kuno yang mereka anggap cukup praktis dan mampu mereka awasi tingkat keadilan piring itu.

Dari 4-5 karung gabah yang mereka panen, biasanya mereka hanya membawa pulang satu karung berukukan 60 kg.
Gabah 60 kg itu kalau dijual dengan harga sekarang -yang katanya turun- Rp 6000 per kilo, mereka mendapat uang Rp 360.000. Namun tak semua gabah dijual, sebagian juga untuk dimakan sendiri. Yang jelas bekerja sehari penuh mematahkan tulang punggung pasti bernilai dibawah RP 360.000 dan pekerjaan "derep" itu hanya ada empat bulan sekali, itupun kalau ada yang menyuruh "derep".

Tidak ada yang mengeluh disini, tak sekalipun saya dengar "grundelan" pada pemerintah. Tak seperti diwarung kopi kota.

Biar saja pemerintah sedikit ling-lung, biar saja "orang bijak semakin taat membayar pajak". Mereka akan tetap mempertahankan tulang punggung tetap tegap.


*foto ilustrasi dirampok dari sini

Komentar