Tak pasti saya ketahui bahwa saya ini Bonek (sebutan supporter Persebaya) apa bukan. Saya tak memahami batasan-batasan yang dapat memunculkan julukan “arek bonek”. Apakah saya harus meng-update berita sekaligus menghadiri setiap jadwal tempur punggawa Persebaya. Saya rasa esensi dari bonek bukanlah hanya sekedar berkaus hijau dan berteriak dipinggir lapangan demi mentransfer semangat pada pemain. Atau hanya melantik diri sebagai bonek hanya karena terlahir dan besar di Surabaya.
Bonek adalah jiwa, bukan jiwa yang nekad. Selama ini yang saya lihat di lapangan bahwasannya yang ada bukanlah sebuah kenekatan yang tak berbatas, saya memandang teman-teman bonek adalah sebuah “Tekad” kuat untuk menggapai sesuatu, dikarenakan disetiap komunitas perkumpulan supporter selalu saja ada oknum yang benar-benar nekad dalam segala hal dan dibumbui berita-berita miring juga kelihaian media mempublikasikan kejadian-kejadian kerusuhan dari oknum bonek tersebut semakin memperburuk dan menempelkan label “anarkis” dalam setiap kaos hijau yang dikenakan bonek.
Dan pagi ini, ketika saya mampir dari sebuah situs yang memuat tulisan-tulisan dari wadah salah satu supporter di jatim-yang namanya tak perlu saya sebutkan-. Ada tulisan dari supporter tersebut dengan judul provokatif dan menyisipkan nama bonek dalam judul tulisannya.
Isinyapun saya nilai memperburuk citra antara bonek dengan suporter tersebut, dia (penulis artikel tersebut) menyebut komunitasnya sebagai suporter yang cinta damai sambil menciptakan percik api provokasi pada bonek. Sampai disini arti “damai ala suporter”-pun menjadi rancu, mungkin menurut suporter tersebut damai ala suporter adalah kedamaian yang dibentuk karena “kesamaan musuh”.
Betul, mereka mungkin mengadaptasi kata sifat -damai- sebagai landasan sebuah kongsi antar suporter yang memusuhi bonek. Damai mereka terbentuk karena mereka sama-sama memusuhi bonek. Apakah ini yang disebut damai? Tentu tidak. Damai itu tidak memprovokasi atau menyudutkan kelompok suporter lain dan damai bukan bernyanyi memperolok suporter lain sambil bersembunyi di balik gelar “suporter santun”
Damai ala suporter adalah totalitas dalam mendukung tim masing-masing serta menerima perbedaan karakter antar suporter.
Walau saya tak tahu pasti, saya ini bonek apa bukan. Tapi muncul rasa sakit hati dalam diri saya setelah membaca artikel yang menyudutkan bonek tersebut. Namun hal ini tidak serta-merta menumbuhkan rasa benci saya pada suporter tersebut, karena saya yakin sebagian suporter memiliki kebesaran jiwa untuk menerima perbedaan walau perbedaan yang dituang dalam tulisan itu sungguh menyakitkan saya. Saya terima, lebih-lebih karena saya bukan mereka, kita pantang untuk memperolok suporter lain sambil bertopeng dengan sebutan suporter terbaik.
Kalau boleh saya mewakili bonek, saya tidak akan memusuhi mereka yang memusuhi bonek. Sebab di Surabaya, sebab dari Persebaya saya mendapatkan ilmu kebesaran jiwa. Kebesaran jiwa karena suporter yang disebut bonek dimana-mana selalu dicecar oleh kabar miring karena satu-dua orang yang membuat keributan tapi tetap berusaha untuk merubah citra, sementara kelompok lain mengumpat bonek secara massal namun lolos dari predikat anarkis dengan alas an cinta damai yang mereka buat sendiri.
Bonek adalah jiwa, bukan jiwa yang nekad. Selama ini yang saya lihat di lapangan bahwasannya yang ada bukanlah sebuah kenekatan yang tak berbatas, saya memandang teman-teman bonek adalah sebuah “Tekad” kuat untuk menggapai sesuatu, dikarenakan disetiap komunitas perkumpulan supporter selalu saja ada oknum yang benar-benar nekad dalam segala hal dan dibumbui berita-berita miring juga kelihaian media mempublikasikan kejadian-kejadian kerusuhan dari oknum bonek tersebut semakin memperburuk dan menempelkan label “anarkis” dalam setiap kaos hijau yang dikenakan bonek.
Dan pagi ini, ketika saya mampir dari sebuah situs yang memuat tulisan-tulisan dari wadah salah satu supporter di jatim-yang namanya tak perlu saya sebutkan-. Ada tulisan dari supporter tersebut dengan judul provokatif dan menyisipkan nama bonek dalam judul tulisannya.
Isinyapun saya nilai memperburuk citra antara bonek dengan suporter tersebut, dia (penulis artikel tersebut) menyebut komunitasnya sebagai suporter yang cinta damai sambil menciptakan percik api provokasi pada bonek. Sampai disini arti “damai ala suporter”-pun menjadi rancu, mungkin menurut suporter tersebut damai ala suporter adalah kedamaian yang dibentuk karena “kesamaan musuh”.
Betul, mereka mungkin mengadaptasi kata sifat -damai- sebagai landasan sebuah kongsi antar suporter yang memusuhi bonek. Damai mereka terbentuk karena mereka sama-sama memusuhi bonek. Apakah ini yang disebut damai? Tentu tidak. Damai itu tidak memprovokasi atau menyudutkan kelompok suporter lain dan damai bukan bernyanyi memperolok suporter lain sambil bersembunyi di balik gelar “suporter santun”
Damai ala suporter adalah totalitas dalam mendukung tim masing-masing serta menerima perbedaan karakter antar suporter.
Walau saya tak tahu pasti, saya ini bonek apa bukan. Tapi muncul rasa sakit hati dalam diri saya setelah membaca artikel yang menyudutkan bonek tersebut. Namun hal ini tidak serta-merta menumbuhkan rasa benci saya pada suporter tersebut, karena saya yakin sebagian suporter memiliki kebesaran jiwa untuk menerima perbedaan walau perbedaan yang dituang dalam tulisan itu sungguh menyakitkan saya. Saya terima, lebih-lebih karena saya bukan mereka, kita pantang untuk memperolok suporter lain sambil bertopeng dengan sebutan suporter terbaik.
Kalau boleh saya mewakili bonek, saya tidak akan memusuhi mereka yang memusuhi bonek. Sebab di Surabaya, sebab dari Persebaya saya mendapatkan ilmu kebesaran jiwa. Kebesaran jiwa karena suporter yang disebut bonek dimana-mana selalu dicecar oleh kabar miring karena satu-dua orang yang membuat keributan tapi tetap berusaha untuk merubah citra, sementara kelompok lain mengumpat bonek secara massal namun lolos dari predikat anarkis dengan alas an cinta damai yang mereka buat sendiri.
tapi jangan pemborosan kata,,hehe...
BalasHapus