Saat ini, hampa benar aku rasa, darahku tak selancar biasanya. mereka menggumpal di dada dan membuatku sesak.
Kutarik nafasku dalam, lantas kubongkar kucari-cari cahaya bulan yang selama ini mengakrabi kamarku. Tak ada. Aku terhenyak dengan kaku semakin kuat. Gamang.
Satu jam yang lalu kau katakan tak ada lagi jalan, padahal telah kusiapkan ototku mendobrak pintu-pintu yang tak begitu rapat terkunci. Aku bukan melawan takdir, aku hanya ingin mendobraknya sekali-kali demi apa yang aku yakini.
kau tetap tak percaya, trauma dan ketakutan terus mendominasi kepalamu.
Aku hembuskan angin yang lama kau kenal, ketakutanmu tak jua padam. Padahal kemarin saat kau datang langkahmu tenang menyemai bebunga di latar, kini semua menjadi runcing penuh getar yang getir.
semenit-dua menit bersama, menyatukan pikiran dalam diskusi panjang menhghasilkan cabang yang teruntai dipiranmu sendiri. Aku jadi ingin mengutarakan sesuatu yang mungkin sudah kau tahu, namun malam itu sungguh menggumpalkan darah di tubuhku. gamang.
Gerimis turun semakin memekat langit, rembulan tersesat di dalam labirin. Cahaya-cahaya manjanya telah memudar habis terkikis.
Kucoba simpan sisa-sisa terangnya, kugenggam erat dan kuperhatikan lamat. Dia tetap anggun walau dalam jumlah sedikit.
"aku sudah berjanji, tak bisa aku terima hal yang tak kusuka" katamu "apa yang tengah dipikirkan tuhan dengan mengirim semua yang tak kusuka?"
Aku tersudut dengan pernyataanmu. Tapi kuterima kenyataan, kuhormati keputusanmu walau gamang sepanjang waktu terdiam.
kebisuan mengbungkam imajinasiku, kau bertanya banyak hal dan kujawab dengan bahasa angin sambil sesekali aku mengingau tentang "dewi" karena sedikit-banyak darahku telah tercampuri udaramu.
namun kau pahami bahasa anginku, senyumku tersungging dalam remang meski tubuhku tetap gamang
Aku teringat bahwa ujung jalan bukan berarti akhir dan kini tak ada lagi kata "mati", yang ada hanyalah perubahan wujad dari sisi koin yang lain. Kau seperti datang kembali dengan segala kegenapanmu.
"aku bukan orang yang suka berlarut dalam kesedihan" katamu memutar kalimatku dulu.
terima kasih kau telah mengenalkanku [ada tinta yang lama kutorehkan, terima kasih untuk perjalanan ini. Yang tak mudah tapi sungguh indah.
Rembulan itu masih ada, dia tersembunyi dibalik cadar hitam yang begitu jauh dari pandangan, cahaya anggunnya ada di relung-relung hati.
Ikrar kuikat diperutmu, aku menjagamu walau tak ada angin, aku memelukmu meski bulan ditunggangi kegelapan.
"aku sayang padamu"
Kutarik nafasku dalam, lantas kubongkar kucari-cari cahaya bulan yang selama ini mengakrabi kamarku. Tak ada. Aku terhenyak dengan kaku semakin kuat. Gamang.
Satu jam yang lalu kau katakan tak ada lagi jalan, padahal telah kusiapkan ototku mendobrak pintu-pintu yang tak begitu rapat terkunci. Aku bukan melawan takdir, aku hanya ingin mendobraknya sekali-kali demi apa yang aku yakini.
kau tetap tak percaya, trauma dan ketakutan terus mendominasi kepalamu.
Aku hembuskan angin yang lama kau kenal, ketakutanmu tak jua padam. Padahal kemarin saat kau datang langkahmu tenang menyemai bebunga di latar, kini semua menjadi runcing penuh getar yang getir.
semenit-dua menit bersama, menyatukan pikiran dalam diskusi panjang menhghasilkan cabang yang teruntai dipiranmu sendiri. Aku jadi ingin mengutarakan sesuatu yang mungkin sudah kau tahu, namun malam itu sungguh menggumpalkan darah di tubuhku. gamang.
Gerimis turun semakin memekat langit, rembulan tersesat di dalam labirin. Cahaya-cahaya manjanya telah memudar habis terkikis.
Kucoba simpan sisa-sisa terangnya, kugenggam erat dan kuperhatikan lamat. Dia tetap anggun walau dalam jumlah sedikit.
"aku sudah berjanji, tak bisa aku terima hal yang tak kusuka" katamu "apa yang tengah dipikirkan tuhan dengan mengirim semua yang tak kusuka?"
Aku tersudut dengan pernyataanmu. Tapi kuterima kenyataan, kuhormati keputusanmu walau gamang sepanjang waktu terdiam.
kebisuan mengbungkam imajinasiku, kau bertanya banyak hal dan kujawab dengan bahasa angin sambil sesekali aku mengingau tentang "dewi" karena sedikit-banyak darahku telah tercampuri udaramu.
namun kau pahami bahasa anginku, senyumku tersungging dalam remang meski tubuhku tetap gamang
Aku teringat bahwa ujung jalan bukan berarti akhir dan kini tak ada lagi kata "mati", yang ada hanyalah perubahan wujad dari sisi koin yang lain. Kau seperti datang kembali dengan segala kegenapanmu.
"aku bukan orang yang suka berlarut dalam kesedihan" katamu memutar kalimatku dulu.
terima kasih kau telah mengenalkanku [ada tinta yang lama kutorehkan, terima kasih untuk perjalanan ini. Yang tak mudah tapi sungguh indah.
Rembulan itu masih ada, dia tersembunyi dibalik cadar hitam yang begitu jauh dari pandangan, cahaya anggunnya ada di relung-relung hati.
Ikrar kuikat diperutmu, aku menjagamu walau tak ada angin, aku memelukmu meski bulan ditunggangi kegelapan.
"aku sayang padamu"
Komentar
Posting Komentar
PINERANG BLOG
TERBIT SEMAMPUNYA SEJAK 2008