Kemarin, saat uban dirambutmu beranak-pinak semakin banyak. tak bosan kau ucapakan bahwa usiamu telah kau sampirkan dipundakku, berulang dan berulang-ulang tak henti-henti kau sampaikan bahwa aku lelaki walau telah kusadari dari jauh hari.
"wong lanang kuwi nyandang dandang-gulo lan nuntun anak-bojo" katamu.
Aku juga tahu itu walau akhirnya berulangkali tetap kau ulangi memberitahuku dan menyisipkan banyak kalimat di lubang telingaku. Aku tak akan menghindar ketika kau membuka khutbah khusus untukku. Sebab aku tahu, ubanmu adalah pertanda kesetiaanmu memikirkanku. Tak sekalipun kusiakan Rambut putihmu itu jatuh dan terserak dilantai.
Setiamu berbanding imbang denganku meski kurahasiakan semua rasa, aku bukan orang yang pandai memanfaatkan peluang untuk mencuri perhatianmu dan aku tak mampu mengutarakan kalimat-kalimat yang melengkungkan senyummu, kupilih saja diam ketika kau ungkap rasa.
Sampai kini kita berpisah dengan tujuan laki-laki, awalnya kau bekali dengan kau ceritakan kekuatan dibalik otot, kau hamburkan serapah didepanku mengenai nyawamu yang kau tempelkan dipunggungku. Aku percaya itu.
besok, usia yang kau sampirkan dipundakku serta nyawa yang kau tempelkan dipunggungku menjelma menjadi bara di dadaku yang nantinya kupertaruhan untuk sebuah pukulan gelombang yang membesarkan diriku sendiri. Telah kusiapkan ragaku untuk mereguk tinta-tinta hitam demi kurekat di helai putih rambutmu, aku berjanji.
Berdua kita terlahir sebagai sepaket kue yang tak akan tercuil sia-sia, kesakitan yang kita terima adalah benih kebahagiaan tanaman. Kita berdua adalah tanah yang tak takut sakit dengan cangkulan-cangkulan kejam.
Tangan kita berpegang erat, nyawa kita rapat dan tubuh kita rekat.
Bapak, terima kasih kau telah membesarkanku dengan segenap kesusahan dan berbagai tanda cinta yang menjelma uban dikepalamu.
Aku tak akan lupa bahwa keringatmu pernah membasahi kerongkonganku.
Dalam hening kukatakan padamu, Bapak, percayalah. aku mampu seperti yang kau minta. Tenanglah.
"wong lanang kuwi nyandang dandang-gulo lan nuntun anak-bojo" katamu.
Aku juga tahu itu walau akhirnya berulangkali tetap kau ulangi memberitahuku dan menyisipkan banyak kalimat di lubang telingaku. Aku tak akan menghindar ketika kau membuka khutbah khusus untukku. Sebab aku tahu, ubanmu adalah pertanda kesetiaanmu memikirkanku. Tak sekalipun kusiakan Rambut putihmu itu jatuh dan terserak dilantai.
Setiamu berbanding imbang denganku meski kurahasiakan semua rasa, aku bukan orang yang pandai memanfaatkan peluang untuk mencuri perhatianmu dan aku tak mampu mengutarakan kalimat-kalimat yang melengkungkan senyummu, kupilih saja diam ketika kau ungkap rasa.
Sampai kini kita berpisah dengan tujuan laki-laki, awalnya kau bekali dengan kau ceritakan kekuatan dibalik otot, kau hamburkan serapah didepanku mengenai nyawamu yang kau tempelkan dipunggungku. Aku percaya itu.
besok, usia yang kau sampirkan dipundakku serta nyawa yang kau tempelkan dipunggungku menjelma menjadi bara di dadaku yang nantinya kupertaruhan untuk sebuah pukulan gelombang yang membesarkan diriku sendiri. Telah kusiapkan ragaku untuk mereguk tinta-tinta hitam demi kurekat di helai putih rambutmu, aku berjanji.
Berdua kita terlahir sebagai sepaket kue yang tak akan tercuil sia-sia, kesakitan yang kita terima adalah benih kebahagiaan tanaman. Kita berdua adalah tanah yang tak takut sakit dengan cangkulan-cangkulan kejam.
Tangan kita berpegang erat, nyawa kita rapat dan tubuh kita rekat.
Bapak, terima kasih kau telah membesarkanku dengan segenap kesusahan dan berbagai tanda cinta yang menjelma uban dikepalamu.
Aku tak akan lupa bahwa keringatmu pernah membasahi kerongkonganku.
Dalam hening kukatakan padamu, Bapak, percayalah. aku mampu seperti yang kau minta. Tenanglah.
Komentar
Posting Komentar
PINERANG BLOG
TERBIT SEMAMPUNYA SEJAK 2008