Dalam Bingkai

Tidak ada darah seni di keluarga saya, tapi saya begitu meminatinya. Dulu sewaktu masih SMK saya sempatkan tiap sore mampir di Dewan Kesenian Surabaya hanya untuk berbincang bersama beberapa seniman dan memperhatikan papan pamflet di sebelah kiri pintu gedung kecil tersebut, sambil berharap sekaligus bertanya-tanya dalam diri "kapan ada acara seni lagi?"

begitu gila bagi teman saya ketika saya rela menjual gitar hadiah ulang tahun dari sepupu saya demi membeli tiket teater, namun tak begitu penting buat saya semua barang pribadi untuk sebuah acara seni.
Saat berada di panggung seni saya seperti berada di tempat nyaman tidak ada gangguan, saya seperti ter-refresh oleh suasana.

Hal itu terbawa sampai sekarang, sampai-sampai rekan kerja saya bilang "kamu itu ngapain kerja disini, kamu lebih pantes di dunia seni". saya sering mendengar komentar sejenis, kepahaman saya tentang organisasi seni cukup untuk melumpuhkan otak saya agar menjual idealisme, sebuah kelompok teater besar di Indonesia sekalipun tak mampu untuk menghidupi keseharian anggotanya bagaimana dengan saya yang sekedar mencintai bukan menjiwai.

karena itu saya bekerja di seni hanya sebagai pemerhati saja, sebagai penikmat saja bukan pelaku walau kadang-kadang saya suka melukis-lukis sendiri (kalau sekarang sih sudah tidak sama sekali. sibuk men)
rasa haus akan seni terbayar semalam, saat saya muter-muter Surabaya (oke, emang sendirian, ngga usah di bahas!). Tempat pertama yang saya tuju saat di Surabaya adalah Gedung Galeri Surabaya yang berada satu komplek dengan Gedung Dewan Kesenian Surabaya.

Di Galeri tersebut sedang ada pameran Seni Rupa bertajuk "Ekspresi Rupa Buana" dari Mahasiswa Program Study Seni Rupa Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.
Satu langkah melewati pintu, di sebelah kiri saya ada meja pengisian buku tamu. Saya tulis nama saya di buku tersebut lalu muncul seorang yang saya pikir mahasiswi di samping saya sambil memberikan kertas pamflet penjelasan acara, saya terima kertas tersebut sambil memandangi lukisan burung di tembok sebelah kiri.

"akhirnya..." hati saya mengatakan, lama sudah saya ingin berada di tempat seperti ini.
Lukisan itu seperti dunia ciptaan manusia yang dibuat dengan batas bingkai, yang membedakan adalah "batasan" tersebut, Tuhan berkarya tanpa ada batasan, sedang manusia memiliki batas sendiri
 begitu cara seniman mengkomunikasikan gagasannya, lewat goresan-goresan, mengekspersikan perasaan lewat pilihan warna-warna.

Di Sebuah Galeri pasti ada dunia-dunia ciptaan yang mugkin tak terjamah oleh pikiran nyata manusia, disini berbeda, orang bisa berkata lewat sorotan mata dari gambar seorang nenek, orang akan terangsang untuk berpikir mengenai arti dari dunia yang ada di dalam bingkai, orang akan tertarik ke dalam bingkai tersebut ketika sudah mengerti arti dari lukisan.

Saya memang tak mampu untuk mengartikan semua "dunia dalam bingkai" di sebuah Galeri, tapi saya tersegarkan oleh semua itu, semalam saya puas karena telah menemukan banyak dunia, baik yang sudah saya pahami maupun belum.

Dari sini kita akan tahu, bahwasannya seni bukanlah tempat untuk mencari rizki, tapi seni adalah metode untuk menghayati rizki. kalau toh ada seniman yang mampu berkecukupan dari seni mungkin saja dia pernah mimpi kejatuhan bulan atau bertemu dengan seorang perampok bank yang tiba-tiba taubat.

Cobalah sekali-kali untuk mendatangi Galeri seni atau nekad mendatangi acara seni, untuk sekedar menikmati dunia yang mungkin saja belum pernah kita ketahuai bahwa dunia itu ada di dalam bingkai.

Komentar