Kelabu Di Kaki Kelud

Pagi itu sepertinya memang berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya, orang-orang terdekat saya menyalakan TV lebih cepat dari biasanya. Setelah itu sayup-sayup saya mendengar "kelud meletus" kaget saya dalam hati, berita apa yang telah saya lewatkan?
Handphone saya aktifkan membuka portal-portal berita, ternyata benar.
Semalam Gunung Kelud yang terletak di Kediri yang beririsan dengan Blitar meletus pada pukul 22:50 WIB.

Sama sekali tak ada perasaan curiga ketika Kelud erupsi, sebab di asrama tempat saya tinggal tak satupun debu vulkanik menempel di teras kami.

***

Tim dibentuk pada hari sabtu tanggal 15, saya masuk kedalam pemberangkatan kedua pada siang hari, sebelumnya 05:30 WIB tim pertama sudah diberangkatkan ke lokasi Batu untuk membersihkan akses jalan masuk ke lokasi bencana yang lebih parah, selanjutnya Tim saya bergerak menuju daerah Kambal, Ngantang, Kabupaten Malang.

Suasana sangat kacau, pasir tebal menutupi aspal, rumah-rumah tertutup abu ditinggal warga mengungsi, awan kelabu pekat dari arah kelud juga cukup untuk memperparah suasana kala itu.
Kendaraan berlalu lalang sangat sibuk, ada truk bermuatan pengungsi, ada mobil relawan yang menembus awan pekat ke arah kelud dan juga mobil-mobil bergambar partai membagi-bagikan bahan makanan.

Peralatan dibagi, sektor pembersihan pula, ada yang mendapat cangkul lipat ada juga yang mendapat sapu.
Tim kami bersama pemuda-pemuda Basarnas mencoba mengorek pasir yang menempel dijalan, cukup sulit sebab kami semua yang bekerja kala itu banyak yang belum makan siang sementara pasir yang harus disingkirkan sangat tebal ditambah lagi lalu-lalang kendaraan mengurangi efektifitas pekerjaan kami.

Seorang pemuda Basarnas saya amati sedang menghentikan mobil relawan, dia sedang mencari makanan yang siap untuk disantap saja bukan mie instan karena tidak mungkin juga kami masih harus memasaknya di waktu kacau seperti ini. Sekardus roti dilempar kearah kami, saya mengambilnya dua bungkus sebab saya pikir itu sudah cukup untuk menipu perut saya sendiri dan untuk berbagi roti dengan yang lainnya.

Pekerjaan kami lanjutkan, lapar tak menjadi halangan, separuh jalan sudah terlihat tak tertutup pasir lagi namun tiba-tiba sirine terdengar keras dari arah kelud, kendaraan semrawut dari arah sana pula.
Saya mencoba mencari tahu dengan lebih mendekat ke arah kendaraan-kendaraan,
Satu orang dari dalam mobil berteriak

"KEMBALI!!, SEMUANYA KEMBALI!!, ADA GAS BERACUN!!!"

Beberapa detik tubuh saya kaku untuk pertama kalinya di dalam hidup, saya melihat kekacauan massa di depan mata, orang berlari-lari, kendaraan berebut ke depan,tak terkecuali mobil-mobil relawan serentak balik kanan menyelamatkan diri, namun tetap saya ingat bahwa saya bukanlah pengungsi saya masuk dalam Tim penolong yang harus bersikap tenang mengatur warga yang nampak sangat takut dan cemas.

Banyak truk membawa hewan ternak, saya tak heran sebab mungkin itu satu-satunya harta dan mata pencaharian sebagai petani atau pemerah susu sapi sangat bergantung pada hewan ternak, tapi ternyata diantara gemuruh petaka di sore itu ada kabar banyak hewan ternak yang hilang dicuri.
Hati saya mengumpat keras, menyumpahi dunia yang hanya saya bisa, sebab saya hanya mampu membantu sebagian kecil saja tapi kebaikan kecil yang kami ciptakan hari itu ditunggangi oleh beberapa orang yang mencoba mencari keuntungan di dalam petaka.

Malam telah datang menghembuskan angin dingin yang menabrak tubuh saya dalam balutan kaos lengan panjang, sunyi dan senyap bersatu dengan awan yang gelap mengirim kabar tujuh orang meninggal akibat gas beracun di hari itu.

Komentar

Posting Komentar

PINERANG BLOG
TERBIT SEMAMPUNYA SEJAK 2008